HADRAT
Oleh: Dela Safita Subarno
(Anggota KOMPAS GANDASULI, Mahasiswa IAIN Ternate)
Hari raya idul Adha merupakan hari bersejarah bagi umat Islam yang jatuh pada tanggal 10 Dzulhijjah. Kisah ketulusan dan totalitas dalam perjalanan kehidupan seorang Nabi yakni Nabi Ibrahim yang di perintahkan Tuhan untuk menyembelih putranya sendiri: Nabi Ismail.
Kedatangan hari raya idul Adha disambut antusias oleh masyarakat Gandasuli. Seluruh Tokoh Adat, Agama, tokoh adat sampai kalangan muda bekerja sama untuk melestarikan kebudayaan dalam bingkai keagamaan yang tak terlepas dari sejarah berdirinya desa Gandasuli.
Hadrat merupakan tatanan nilai, tradisi yang telah lama berkembang di Desa Gandasuli. Tradisi ini dilakukan dengan cara pengantaran hewan kurban sebelum di sembelih yang diiringi bunyi gendang, umbul-umbul, gerakan seirama, dan bacaan syaroful Anam, barzanji, serta nyanyian memuja untuk Maha Kuasa. Terdapat makna yang cukup dalam pada ritual tersebut, yakni perwujudan rasa syukur terhadap Allah SWT yang telah menggantikan putra tunggal Nabi Ibrahim (Nabi Ismail) dengan domba untuk di kurbankan. Di sisi lain, Hadrat bukan sekedar kenangan yang hanya bisa dikenang melainkan kebudayaan yang dilestarikan dan terus dikembangkan.
Hadrat adalah sebuah budaya yang dibawa dan pertama kali dpraktikkan di Gandasuli oleh seorang tetua bernama Lasiri Bua pada tahun 1950, “ujar Alisam”. Sedangkan menurut Laguo hadrat dibawa dari Ambon dan dipraktikkan pada 1972 di desa Gandasuli. Di Ambon sendiri Hadrat juga bukan hanya dipraktekkan pada hari raya kurban saja, tetapi juga untuk mengantar pengantin (orang kaweng), Maulid Nabi Muhammad SAW, dan di tiga malam terakhir Ramadhan ( malam ela-ela).
hari besar idul adha yang jatuh pada hari Jum’at (31/07/2020) dan hadrat kembali di laksanakan dengan warna yang berbeda, tetapi dengan makna yang sama. Dentuman tepukan Rabana memecah, kain leja berwarna khas buton terbalut di pinggang yang dikenakan oleh para lelaki. Ke anggunan para Waambe (perempuan) semakin mempesona memaki kain yang di balut dengam kebaya. Lenso yang di permainkan seirama dengan nada nyanyian untuk memuja Sang Kuasa. Yang telah menggantikan kepala Nabi iImail deng seekor domba.
Budaya ini masih tetap hidup dan telah mendara daging dalam kehidupan orang Buton. Karena jati diri sebuah daerah di kenal melalui adat dan tradisi yang masih di pegang teguh. “Kenalilah baik-baik budaya nenek moyangmu karena sejarah akan terkubur jika tidak diperkenalkan kepada generasi penerus adalah berlian yang tak ternilai dengan rupiah. Berlian yang menghidupkan rasa memiliki, persaudaraan, kekeluargaan dan kebersamaan berbalut ikatan cinta akan kemanusiaan.
Komentar
Posting Komentar