Air Terjun dan Misteri Hidup



Oleh : Saiful Subarno
(Anggota Kompas Gandasuli, siswa SMK Misbahul Aulad Labuha )


Belum begitu pulih dari rindu yg kemarin, tapi rindu itu suda kembali memanggil tubu ini untuk melangkah kembali.Masih dengan tempat yg sama, namun ceritanya berbeda.Hati tergetar berfikir akan masih ada orang yang rasanya ingin menikmatinya walau hanya untuk mendapatkanlelah dalam setiap kisah.

Tatkala saya memposting sebuah foto yang menggambarkan keindahan alam di sosial media
membuat seorang sahabat tertarik dan berkeinginan besar untuk merasakan nikmatnya suasana alam secara langsung. Teman saya itu mengajak beberapa temannya dan mengajak saya lalu kami bersepakat untuk merambah indahnya suasana Sibela pada Sabtu, 21 Maret 2020.

Pada hari Sabtu pukul 15.05,Jendela Baca Sibela adalah titik kumpul. Kami berjumlah Sepuluh (10) orang, 4 orang anggota Kompas dan 6 orangnya adalah teman saya dan teman-temannya. Cuaca terbilang cukup cerah,dari desa Gandasuli kami menyusuri perkebunan warga, kami bertemu warga dan ditawarkan langsat oleh warga. Biasanya di bulan ini (Maret)adalah musim buah-buahan.

Beberapa menit kemudian kami tiba pada sebuah sungai dan sungai ini merupakan jalur untuk menapaki air terjun Gandasuli. Jalur yang kami tempuh mengikuti jalur sungai berliku-liku, memanjat bebatuan, beberapa teman merayap layaknya bayi yang belum bisa berjalan. Menyusuri sela-sela batu, dari satu anak gunung ke anak gunung lainnya yang cukup suram, memanjat bebatuan dan begitu seterusnya. Sampai-sampai salah seorang teman, Ical namanya. Ia bertanya, apakah sudah tak ada jalan lain, dengan nada suara lemah tak berdaya.

Memasuki hutan lebat dan semakin ke dalam rimba suasana indah makin mempesona, alam Sibela ibarat gadis desa yang belum pernah disentuh oleh lelaki. Nyanyian burung menitahkan ekspresi suasana indah dan merdunya poros Sibela yang tak sanggup diungkapkan dengan kata, cukup dengan rasa. Alam menampakkan wajah gelap dan rintihan gerimis tetapi langkah kami terus dalam juang tak terbatas. Bahwa dibalik lelah, kesulitan selalu ada harapan, yakni wujud air terjun.

Dinar, dalam suasana lelahnya, ia bertanya: masih berapa menit kita sampai? Mungkin berkisar kurang lebih 5 menit, jawab saya. Sudah tak jauh, kita akan sampai. Jangan menyerah, teruslah semangat karena saat kita sampai di air terjun lelah kita akan terasa hilang. Saya tak bisa berkata banyak selain memberi semangat kepada mereka.

Kami terus melangkah walau rasa lelah terus mencekam, nafas tersendat karena hosa (sesak nafas). Dari jarak, ketinggian terlihat tebing batu dialiri air, mengalir lalu jatu dari ketinggian. Ical, Dinar, Yuli berdiri membisu dan menatap penuh senyum, riang, gembira. Sedangkan Ir, Budi dan Ali melespaskan teriakan rasa bahagianya dan terkagum-kagum dengan pesona air terjun.

Semangat mereka terkobar disaat melihat air terjun, dan kami meneruskan perjalanan. Ini justru lebih menantang karena harus menyeberangi tebing. Disaat menaiki tebing Dinar bertanya: apakah nanti kita bisa pulang dengan jalur seperti ini? Pertanyaannya tak dihiraukan. Dengan menggunakan tali, kami memanjat tebing. Sampai di atas kami bersihkan lokasi untuk membangun tenda. Sang surya makin hilang ditelan gelap. Suasana gelap makin terang, kami menyiapkan makanan untuk makan malam dan bikin kopi.

Di sudut malam, belantara Sibela masing-masing dari kami berbagi kisah, pengalaman dan saya mengisahkan perjalanan Kompas Gandasuli kepada mereka. Kompas (Komunitas Pelestarian Satwa Sibela), adalah suatu komunitas yang bergerak di bidang konservasi satwa liar. Sambil mencicipi kopi panas kami bersenda gurau, tertawa. Saya bertanya pada Ali kenapa harus pergi ke air terjun? Kita bisa saja ke pantai, kota, mall, tetapi menikmati alam suasananya jauh berbeda walau cukup melelahkan. Karena suasana dingin makin mencekam dan masing-masing dari kami masuk dan beristirahat di tendum.

Setelah beres-beres, kami mengambil tempat di bawah tebing batu sambil foto-foto, mandi-mandi, tertawa dan bergurau. Inilah suasana kebersamaan di tengah semesta. Setelah mandi kami melanjutkan perjalanan pulang. Kami menuruni tebing batu dengan sangat hati-hati. Sebab, jika jatuh nyawa bisa melayang, tapi, inilah dalam situasi yang sulit kita akan temukan makna hidup. Seperti dalam sebuah ungkapan bahwa: “hidup itu bermakna jika ada sesuatu yang kita perjuangkan mati-matian”. “Misteri hidup” adalah menemukan makna dalam suatu pengalaman yakni berbagi kisah dengan yang lain, berbagi kebersamaan, berbagi rasa peduli dengan yang lain. 




Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

HADRAT

KIE BESI DAN PERSEBARAN ORANG MAKEANG

CINTA DAN BADAI JAMAN